Jumat, 16 April 2010

Istana Cinta untuk Wima



Share
MASUK dua tahun aku menjalin tali cinta dengan Wima. Akan tetapi baru kali ini aku menginjakkan kaki di rumahnya. Meski tidak besar dan tidak tingkat, rumah Wima langsung menyedot minatku. Rumah yang ukurannya sedang-sedang saja itu pesonanya luar biasa asri dengan gordennya yang indah. Apalagi bagian dalamnya. Tidak terkesan mewah sih, tetapi setting ruangnya pas banget. Aku dibuatnya kagum berat.
Di mataku antara kembang hidup dalam berbagai jenis dan ukuran pot, meja, kursi, lukisan, lemari, bufet dan lain sebagainya, tertata tepat alias padu padan dengan interiornya yang terpilih. Yang juga membuatku sangat comfort, tidak kulihat sebutir debu pun mencumbu lantai, dinding atau perabotan. Semuanya cling. Demikian juga dengan panorama di kamar mandi dan dapur, yang tampak sangat jelas di-touch dengan citra rasa seni tinggi. Terus terang, aku jadi enjoy untuk berlama-lama di rumah Wima. Mau seminggu tinggal di sana, aku pasti betah-betah saja. Apalagi Wima selalu di sisiku, dengan sinar cinta yang berkilauan di matanya yang bagus dan kasih sayangnya yang terpancar dari senyumnya yang menawan.
Seminggu? Ah! Edan itu! Bisa digerebeg dan ditangkap Linmas aku! Lho kok bisa?
Ya bisa, lha wong Wima itu bulan resmi jadi bojo-ku?! Wima itu baru setahun lebih jadi pacarku. Tepatnya janda cerai mati dengan dua anak itu belum resmi kunikahi di depan penghulu, lengkap dengan mahar, ijab kabul, wali, dan saksi-saksi!
Ketika aku berada di ruang keluarga atau di ruang tengah, kutemukan beberapa foto Wima yang cantik dan anggun dalam berbagai bingkai yang cantik saat jadi manten, ketika menggendong anak pertamanya yang berusia lima tahun bersama sang suami, serta foto bersama sang suami dan anak-anaknya dalam pakaian adat Jawa komplit. Meski suaminya sudah almarhum tiga tahun yang lalu dan anak-anaknya semua sudah dekat denganku, serta ditambah dengan aku tidak sedang bermain cinta untuk kegembiraan sesaat, jujur saja, ada perasaan tak enak menelusup dan ada getar cemburu halus di hatiku. Kenapa foto-foto itu masih menggantung di dinding rumahnya?
Kutahu almarhum suami Wima sudah lama seda dan kuyakin beliau telah damai di sisi Tuhan karena beliau orang baik, dermawan, penolong, peduli kepada sesama, pejabat yang soleh, dan insan yang bertakwa. Wajar jika kematiannya begitu damai, indah, dan tersiar harum sekali. Antrian pelayat dan pengantar ke peristirahatan terakhirnya yang panjang dan mengular menunjukkan siapa dirinya. Yang kutahu, waktu itu, Subang menangis dan berduka cita kehilangan putra terbaiknya!
Wima yang tetap cantik, ayu, dan seksi di usianya yang tengah merambat kepala empat lebih beberapa bulan, rupanya tahu apa yang menyelinap di hati dan sedikit mengganggu pikiranku. "Anak-anak yang menghendaki agar foto-foto itu tetap terpasang di sana. Meski mereka sudah menerima Mas apa adanya, tapi anak-anak gak ingin melupakan Papanya," ujar Wima ketika kami duduk di ruang depan--atau sering disebut ruang tamu--dengan bijaksana, hati-hati, dan santun.
Aku tersenyum, kemudian kuraih kepala Wima untuk bersandar di dadaku. "Biarkan foto-foto itu tetap menggantung di sana, Honey," kataku sambil mengecup keningnya. "Beliau itu kan Bapaknya anak-anak," lanjutku sambil mencium kening dan kemudian tangannya.
"Mas sungguh tidak keberatan?" tanya Wima sambil menatap wajahku dengan harap-harap cemas.
"Ini rumah peninggalan almarhum untuk kamu dan anak-anak," jawabku sambil senyum, kemudian kucium pipinya dengan lembut dan mesra. "Kelak jika aku ke sini lagi atau aku di sini, biarkanlah foto-foto itu tetap menggantung pada tempatnya. Jangan ada yang diturunkan atau disimpan di tempat lain. Satu frame pun gak boleh ada yang diturunkan atau berpindah tempat, My Sun."
"Tapi..."
"Aku juga menghendaki foto-foto itu tetap di sana, Sayang," potongku cepat. "Jadi, please, jangan terlalu memikirkan aku di sini nanti gimana? Tenang saja. Gak akan ada yang berubah di rumah yang indah dan asri ini meski aku mulai dan kelak menjadi "ruh" di rumah ini."
"Kalau Tuhan nanti..."
"Menyatukan kita dalam ikatan pernikahan yang suci, agung, dan sakral kurasa bukan di sini istana untuk melanjutkan bulan madu kita, My Soulmate."
Wima gak bilang apa-apa lagi. Perempuan berambut hitam panjang bergelombang dan berhidung bangir itu langsung menjatuhkan tubuhnya di dadaku. Kubiarkan ia menangis dan terisak dalam bahagia fitri. Kubelai rambutnya dengan mesra sebagai pencerminan dari cinta, kasih, sayang dan rinduku yang utuh kepadanya.
"Doakan semoga karierku terus berkibar, sehingga jika kelak kita nikah kita tidak berbulan madu dan berdiam di sini. Ini bukan istana yang kubangun dengan butiran tetes keringatku, My Love."
Wima memelukku semakin erat. Di pipinya yang bersih dan mulus kulihat dua batang anak sungai dengan airnya yang bening mulai meleleh. Tangis bahagianya pecah berkelanjutan! Wima mungkin bersyukur dapat aku karena tidak sungguh mudah menyandang predikat single parent, apalagi memangkas image-nya yang suka dikonotasikan sumir.
***
Dua tahun kemudian, kami resmi menikah. Meski ini pernikahanku yang kedua--setelah kematian istriku yang pertama, Dayana Trijata--kami menganggap pernikahan ini tetap suci, agung, dan sakral. Pernikahan itu sendiri berlangsung di sebuah masjid ternama di kota tempat Wima tinggal dan tanpa pesta di gedung mewah. Syukuran pernikahan kami digelar di rumah keluargaku dalam bentuk pesta kebun yang sederhana.
Sebagaimana janjiku, pascapernikahan, kami langsung berbulan madu ke Bali. Pulang dari Bali, kami tidak masuk ke rumah Wima, meski semua anak-anak menghendaki dan tidak keberatan. Kata mereka, rumah ini butuh imam atau butuh pemimpin.
"Meski tidak sebaik, secantik dan seindah rumahmu, rumah kita cukup pantas untuk dijadikan istana. Tatalah sesuai seleramu, Mas pasti suka dengan hasil sentuhan senimu yang bercita rasa tinggi," ujarku.
Begitu taksi yang kami naiki dari bandara memasuki perumahan yang masih terbilang baru, berhenti di depan sebuah rumah, kulihat Wima memekik dan langsung merangkul leherku. Ia begitu bahagia dengan istana persembahanku, yang sesunguhnya setengah kali lebih besar dan lebih mutakhir arsitekturnya dari rumah Wima.
"Inilah rumah yang kuharap berubah jadi istana setelah kau beri sentuhan seni tinggi," kataku sambil merangkul bahunya dengan lembut dan mersa. "Buatlah rumah ini agar aku selalu rindu berat untuk pulang sesegera mungkin begitu kerjaanku di kantor selesai," lanjutku sambil mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang yang kental.
"Jadikalah rumah ini sebagai istana sekaligus sebagai surga agar aku tidak ingin membuang-buang waktu sepulang kerja di diskotek, kafe, vila, resort, motel, hotel atau tempat singgah dan rileks lainnya," ungkapku sambil berbisik di telinganya, "Juga gak perlu ada hang out®MDBU¯ atau dugem-dugeman karena di dalamnya ada ratu yang membuatku selalu rindu berat untuk secepat kilat pulang ke rumah, lalu cepat-cepat masuk peraduan untuk ber...," lanjutku di telinganya setengah berbisik, mesra dan menjurus kepada hubungan intim.
Wima melotot senang sambil mencubit mesra pinggangku. "Ih! Mas nakal ah!" semprotnya dengan manis dan manja. "Kok gak ada bosannya sih!"
Itulah Wima yang membuatku selalu rindu untuk sesegera mungkin mencium kening dan pipinya yang putih, mulus, dan lembut, yang kemudian kulanjutkan dengan memeluk tubuhnya yang padat, seksi, dan wangi.
"Tapi aku ada usul atau pendapat, Mas? Boleh kan?"
"Apa itu? Katakan saja. Gak usah ragu-ragu!"
"Selain rumah ini akan aku sulap jadi istana dan sorga, ada yang lainnya dan itu ternyata tidak kalah penting," kata Wima berteka-teki dan teka-teki itu membetot kepenasaranku. "Apa itu?"
"Penghuninya?"
"Maksudmu kau dan aku, Wima?"
Wima mengangguk. Memesona sekali anggukannya, karena dipadu dengan senyum yang manis dan disempurnakan dengan sorot matanya yang memancarkan kebahagiaan.
"Kaulah yang akan membuat rumah ini memiliki ruh, menjadi istana dan sekaligus menjadi sorga, yang selalu menyedot keinginanku untuk secepatnya sampai di rumah sepulang kerja!"
"Kalau begitu aku harus jadi magnet yang ayu, cantik, padat, seksi dan tampil sempurna, agar engkau tidak membutuhkan wanita idaman lain yang bertebaran di mana-mana dan begitu sangat mudah untuk mendapatkannya..."
"Engkau sudah menjadi bidadariku, Dinda. Masalahnya tinggal bagaimana Dinda memperlakukan Kanda, agar Kanda tak memiliki keinginan untuk berpaling, pindah ke lain hati, singgah ke lain body, atau punya wanita idaman lain," ujarku. "Karena Kanda menikahi Dinda bukan untuk mengecewakan, menyakiti atau mengkhianati Dinda! Mari kita saling melengkapi dan saling membahagiakan, Dindaku..."
***
Dan pernikahan kami mengalir demikian indah. Bukan berarti pernikahan itu menggelinding mulus tanpa kerikil atau pertengkaran. Kerikil dan pertengkaran itu ada, tapi kami selalu sepakat menyelesaikannya secepat mungkin. Riak dalam lautan rumah tangga pasti ada, akan tetapi itu kami pahami tidak lebih dari bumbu rumah tangga karena masalahnya bukan perselingkuhan atau pengkhianatan atas kesucian, keagungan dan kesakralan pernikahan. Paling banter badai itu bernama salah paham dan cemburu. Istri siapa sih yang tidak kebat-kebit hatinya melihat suaminya punya sekretaris secantik dan sesemok Ratu Campursari Anik Sunyahni?
Pada tahun keempat badai itu datang. Vina, sekretarisku, diam-diam mencintai aku dan mau jadi istriku yang kedua. Gila! Dan...godaan itu kukatakan pada Wima pada suatu malam yang tenang dan nyaman.
Setelah diam sejenak, Wima buka suara, "Kuncinya ada padamu, Mas," ujar Wima agak gelisah. Kulihat ia berusaha tenang meski badai tengah mengancamnya. "Seribu kali aku melarang dan sejuta kali aku berusaha mencegahnya, jika hatimu meronta ingin mendua, aku gak bisa berbuat apa-apa. Karena Mas akan selalu mencari jalan untuk mewujudkannya. Dan laki-laki, maaf, biasanya, memiliki alasan yang dikuat-kuatkan untuk pembenaran niatnya, yakni demi itulah, demi inilah, dari pada zina, sampai kepada alasan yang paling klasik: demi melaksanakan sunah rasul!"
"Maksudmu?"
"Apa yang bersemayam di hati Mas, itulah yang benar," kata Wima mantap. "Karena kalimat indah bisa dibuat, keraguan bisa diyakinkan dan kebenaran semu bisa diproduksi, akan tetapi yang ada di hati itulah yang suci, dan terus terang saja, mayoritas lelaki pandai sekali mem-packaging niatnya yang kurang terpuji bahkan busuk dengan kemasan yang tampaknya bersih dan benar, bahkan terkesan suci!"
"Terus kesimpulanmu untuk "musibah" yang tengah mengancamku apa?"
"Lakukanlah sesuai dengan apa yang ada di hatimu!"
"Kamu ikhlas, Wima?"
"Asal kau tak mendustai suara hatimu, aku rela!"
"Benar?"
"Pernahkah aku berdusta sepanjang empat tahun menjalani pernikahan ini?"
Aku diam. Aku menggeleng. Aku mati kutu! Kukira akan ada Baratayudha. Ternyata pikiran dan hati Wima seluas samudara, sehingga semakin memantapkan hatiku. Wima kunikahi bukan untuk sesaat, akan tetapi untuk selamanya! Sampai maut menjemput! Sampai tancap kayon!
Vina muda dan cantik itu benar. Buta kalau ada orang yang sampai bilang dia tidak cantik. Tapi apakah hatinya juga cantik?
Aku menggeleng sendiri. "Gak ada jaminan hati Vina secantik wajahnya!"
Tanpa keraguan secuil pun kupilih tetap dengan Wima, karena Wima kunikahi bukan untuk kusakiti. Tulang rusukku yang hilang itu, sudah kutemukan pada Wima. Wima jadi soulmate-ku tidak untuk habis manis sepah dibuang! Karena Wima bukan sebatang tebu!
Kuraih tangan Wima untuk kemudian kucium. Lalu kuraih kepala Wima, setelah bersandar di dadaku, kemudian kukecup keningnya. "Demi Tuhan, yang paling indah buat kita untuk selamanya, adalah aku cukup mencintaimu seorang, karena kau kunikahi bukan untuk kukhinati!"
"Terima kasih, Mas," ujar Wima. Dadaku basah oleh air mata bahagianya. "Kini aku juga sudah sampai pada puncak keyakinan, bahwa kau adalah lelaki terbaik yang sengaja diciptakan Tuhan untuk membahagiakan aku. Satu yang kumohon padamu. Boleh kan?"
"Apa itu?"
"Aku ingin selalu dan selamanya mendampingimu, untuk kemudian bersamamu memasuki sorga yang dijanjikan Tuhan untuk umat-Nya yang paling bertakwa! Bimbinglah aku, Cintaku!"
Tuhan! Terima kasih atas kiriman tulang rusukku yang hilang bernama Wimarini Sekar Kinasih. Hanya itu yang bisa kusampaikan kepada Tuhan, karena semuanya bagiku begitu indah dan tak cukup jika dikisahkan di sini..***

0 komentar:

backlink


google

"dimas Hacker"

scrool

ShoutMix chat widget

 

 
Jrockstars Purwodadi